planet_kita

Suatu Saat di Pojok Alam Semesta...

28 Mei 2008

Perang Bintang, Akankah Terjadi ?

Ini tulisan lama,lebih dari setahun lalu. Mungkin sudah basi. Namun ada ide yang masih tetap menarik.


Uji coba senjata penangkal satelit (anti satellite, ASAT) oleh negara China pada 12 Januari lalu ternyata menuai protes dari banyak negara (termasuk Indonesia) dan terutama negara adidaya yaitu Amerika Serikat (AS). Pada ujicoba itu satelit cuaca Feng Yun-1 C (FY-1C) yang berada pada ketinggian 800 km dihancurkan melalui alat penabrak kinetik yang dipasang pada rudal balistik. Uji coba pertama kali sejak era 1980-an, setelah meredanya perang dingin (cold war).

Protespun berkembang pada persoalan perkembangan kekuatan militer China yang signifikan dimana parameter yang bisa diukur adalah peningkatan anggaran militer dari prosentase APBN negara Tirai Bambu tersebut,terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Rusia.

Ujicoba ASAT di atas,boleh jadi, adalah puncak dari gunung es kebangkitan negara China untuk mempersiapkan diri sebagai negara superpower abad 21 dimana kekuatan ekonomi dan politik dunia akan berpindah ke benua Asia. Selain China,India mengakui memiliki kemampuan untuk membuat ASAT.

Selain peningkatan anggaran militer, China mengubah paradigma pertahanan negara dan model perang tidak lagi secara konvensional namun mengikuti apa yang seperti tergambar dalam fiksi ilmiah yaitu perang digital.

Semua instrumen militer diharuskan akrab dan melekat dengan perangkat teknologi digital. Ada konvergensi dan integrasi kekuatan militer di semua matra, baik di darat, udara,permukaan laut, bawah laut dan luar angkasa. Kita bisa membayangkan bahwa ramalan China akan menjadi super power pengimbang negara AS bukanlah tanpa dasar.

Karenanya menjadi sangat penting bila basis kekuatan militer berada pada ruang yang begitu strategis yang bisa “menyatukan dan melihat” seluruh permukaan Bumi dengan leluasa yaitu di luar angkasa.

Perang Bintang

Dalam fiksi ilmiah kurun ratusan tahun mendatang sering digambarkan peperangan di luar Bumi menggunakan pesawat antariksa supercanggih,sama seperti halnya perang di angkasa Bumi menggunakan pesawat terbang ataupun rudal dan anti rudal.

Hingga kini perang di antariksa tidak terjadi. Dalam masa perang dingin, “perang” yang diperlihatkan adalah pembuatan dan mengorbitkan satelit yang mampu menundukkan dan bahkan menghancurkan satelit lawan. Satelit yang dipakaipun berfungsi pula untuk memata-matai kondisi lawan dengan melakukan pengamatan (surveilance) dan pengintaian (reconnaissance). Pengamatan adalah bentuk kegiatan pemantauan yang bersifat regular,sementara pengintaian digunakan untuk mengumpulkan dan melacak data-data intelijen spesifik (khusus) yang bersifat siap saji dalam kondisi yang mendesak serta amat penting.

Meskipun begitu, kebutuhan penggunaan satelit sebagai senjata pembunuh masih kalah dibandingkan sistem antirudal balistik dikarenakan dua hal yaitu pertama, waktu yang lebih pendek bagi rudal balistik untuk membunuh sasarannya sambil tetap berada pada jalur lintasannya tatkala masuk kembali ke atmosfer dan; kedua, untuk satelit memiliki kelemahan berkaitan dengan jalur orbitnya yang tetap sehingga mudah diprediksi musuh. Namun untuk melumpuhkan satelit bukan perkara yang mudah dikarenakan laju orbitnya mencapai puluhan ribu km, sebagai contoh satelit Rusia mencapai laju 37 ribu km/jam pada ketinggian di atas 320 km.

Untuk itu secara umum dilakukan dua cara untuk menaklukan satelit yaitu pada satelit yang mengorbit rendah (beberapa ratus km di atas permukaan Bumi) digunakan senjata laser berbasis darat dan menggunakan pesawat tempur konvensional yang telah dimodifikasi seperti F 15 untuk meluncurkan rudal.

Sedangkan pada satelit yang mengorbit tinggi dan geostationer, ribuan km di atas muka Bumi, dipergunakan rudal balistik , senjata energi terarah dan senjata pemancar sinar partikel atau kanon sinar laser yang disematkan pada satelit. Keuntungan penggunaan sinar laser di luar atmosfer Bumi adalah berkas sinarnya dapat dipropagasi tanpa terpengaruh atmosfer Bumi sehingga bisa mengalami penyimpangan ataupun pelemahan energinya.

Awalnya Uni Sovyet mengembangkan Sistem Pemboman Orbit Terpencar (Fractional Orbit Bombardement System,FOBS) dimana sebuah senjata nuklir ditempatkan dalam orbit melalui wahana pengangkut rudal balistik SS-9. Sebelum mencapai orbit yang ditargetkan pada ketinggian 800 km, sebuah roket dengan semburan yang berlawanan arah wahana pengangkut ini menyala untuk mengeluarkan senjata nuklir keluar dari orbit SS-9 dan siap menghantam sasaran yang diincar.

Program FOBS ini menakutkan AS dan sekutunya karena dapat melumpuhkan bateri rudal anti rudal balistik beserta radal peringatan dini yang berbasis di darat. Bila semuanya ini terjadi, akan mudah bagi Uni Sovyet mengirimkan rudal balistik ke sejumlah sasaran di AS karena sudah tidak memiliki “perisai” lagi.

Sebagai tandingannya pada 1960, AS mengembangkan Satellite Inteceptor (SAINT) yang akan memantau satelit musuh lalu menghancurkannya. Dalam perkembangannya, pola penghancuran satelit menggunakan satelit diganti menggunakan rudal balistik berhulu ledak nuklir Nike-Zeus (NZ),program 437 dengan rudal Thor, Miniatur Homing Device (MHD) yang dibawa pesawat F-15.

ASAT yang paling menakutkan adalah menebarkan sejumlah bahan peledak yang berfungsi sebagai ranjau yang ditempatkan pada orbit tertentu. Satelit milik siapapun yang berada dekat ranjau ini akan terkena getahnya.

“Perang antariksa” yang tidak pernah terjadi di atas berakhir setelah Uni Sovyet menghentikan program ASATnya di era 1980-an. Antariksa menjadi tenang, terlebih ada kerja sama antara kedua negara kampium teknologi antariksa tersebut untuk membangun stasiun antariksa internasional, yang merupakan usulan mendiang presiden Ronald Reagen pada 1984.


Kompetisi

Medan laga perang lantas bergeser pada kompetisi untuk sebanyak dan semasif mungkin menguasai jaringan informasi dan telekomunikasi dunia.

Sebagai contoh adalah upaya Uni Eropa dengan meluncurkan satelit Giove-A, satelit pertama dari proyek satelit navigasi Galileo pada 28 Desember 2005. Proyek ini merupakan saingan dari Global Positioning System (GPS) yang dikendalikan oleh militer AS yang merupakan satu-satunya sistem navigasi berbasis satelit yang menjangkau seluruh dunia.

Proyek bernilai 4,27 milliar dollar AS menegaskan Uni Eropa tidak bergantung lagi pada sistem GPS. Keakuratan Galileopun lima kali dari keakuratan GPS.Meskipun ada kerja sama antara Uni Eropa dan AS, kompetisi antariksa tetap tidak bisa melepaskan dari dari hukum pasar. Artinya siapa yang bisa memenuhi kebutuhan pasar, dialah yang menjadi pemenang.



Perang lagi ?

Kompetisi yang menjadi model “perang bintang”baru di tengah dunia dalam kondisi aman boleh jadi dijungkirbalikkan oleh percobaan ASAT negara China. Dunia kembali dihadapkan pada pilihan bahwa perang bintang,seperti yang digambarkan dalam film fiksi ilmiah di atas,bisa terwujud. Nasehat kuno yang mengatakan bahwa untuk menjaga perdamaian tiap negara harus siap berperang tetap ternyata berlaku hingga kini (dan mendatang).

Contohnya seperti yang ditulis oleh Allen Thomson, yang pernah bekerja sebagai analis pada Central Intelligence Agency pada 1972-1985, dalam Jurnal Space Policy Februari 1995 berjudul “Satellite Vulnerability: a post-Cold War issue?” yang mengusulkan pentingnya membenahi manajemen satelit mata-mata AS dan penggunaan ASAT belajar dari perang teluk 1991. Dimana saat itu diketahui Irak memiliki kemampuan rudal jarak menengah SCUD, yang boleh jadi negara lain yang menjadi “rival” AS pun memiliki kemampuan serupa.Misalkan saja untuk satelit mata-mata yang berorbit rendah low earth orbit (LEO), dapat dengan mudah diketahui, bahkan oleh perkumpulan amatir.

Memang ada kesepakatan internasional yang menegaskan bahwa antariksa adalah ruang yang diperuntukkan untuk tujuan damai.Namun bukankah tidak ada yang abadi di dunia ini.

Label:

Persiapan Menggapai Antariksa

Apakah berada di luar Bumi itu menyenangkan ? Bila memperhatikan jumlah orang yang tertarik untuk menjadi astronot,seperti yang terlihat dari seleksi di berbagai negara termasuk di Indonesia dua dasawarsa lalu,maka jawabannya : Ya.

Sudah menjadi kodrat manusia untuk melakukan petualangan dan merasakan sensasi baru. Hasrat untuk berpetualang merambah "dunia lain" menjadi potensi ekonomi menggiurkan dengan munculnya beberapa agen wisata antariksa.

Bayangan betapa indahnya memandang Bumi dan pergerakan rotasinya di kejauhan antariksa, memandang bintang yang jauh lebih banyak bila dilihat dari permukaan Bumi, atau merasakan tubuh tanpa bobot. Menikmati keagungan alam rasanya membuat masalah hidup sehari-hari lepas semua,deh.

Tidak usah tinggi-tinggi di antariksa, berada di puncak gunungpun kita bisa merasakan "kondisi yang bebas". Memandang kejauhan horison. Menikmati alam sekitar. Bau belerang. Dinginnya udara. Dan segala pernak-pernik, seperti gitar yang tak lupa dibawa, membawa suasana menjadi romantis.

Namun ada hal yang tanpa kita sadari yaitu potensi bahaya di kedua lokasi yang menyenangkan itu. Di puncak gunung kita berada dalam lingkungan dengan pasokan udara sedikit dibandingkan di lokasi yang rendah. Tidak adanya sumber air (kecuali kalau kita menampung air hujan).Cuaca yang bisa berubah drastis. Atau daya tahan tubuh kita tiba-tiba drop akibat kekurangan makanan atau kelelahan. Semuanya ini perlu diantisipasi.

Tanpa disadari pula, suksesnya tiba di puncak gunung karena tubuh sudah dikondisikan mengenal lingkungan dengan menaiki rute setapak demi setapak. Ada fase pengondisian sehingga fisik dan mental tidak shock ketika berada di lokasi berbeda dari sebelumnya.

Ternyata untuk bisa menikmati keindahan di puncak gunung ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Begitupun ketika kita berada di antariksa. Bahkan persiapannya jauh lebih rumit dan melelahkan.

Dibalik keagungan sensasi yang dirasakan astronot, beragam bahaya mengintai sejak dari proses peluncuran hingga pendaratan kembali ke Bumi. Perasaan takut (bisa mudah) menyergap ketika mesin pesawat mengalami guncangan ketika bergesekan dengan atmosfer atau ada instrumen yang tidak berkerja seperti yang diharapkan. Kesunyian total menghinggapi ketika berada di antariksa. Cahaya Matahari terlihat lebih terang dan menyilaukan. Karenanya astronot yang tepilih merupakan orang dengan kondisi fisik dan mental yang prima. Begitupun dengan tingkat kecerdasannya.

Sama seperti mencapai puncak gunung, pengondisian astronot dilakukan setahap demi setahap seperti apa yang dilakukan Badan Antariksa Eropa (European Space Agency - ESA) di bawah ini.

Antartika sebagai Ajang Latihan

Masih 30 tahun ke depan ESA mengirimkan astronot ke Mars, namun persiapannya telah dilakukan.Salah satunya dengan mempelajari masalah psikologi, kesehatan, daya tahan dan tingkat ketegangan yang bakal dialami astronot. Caranya, dengan menempatkan sukarelawan di lokasi terpencil dan ganas yaitu di Antartika.

Belum lama ini dua orang Italia dan Perancis tinggal di Stasiun Penelitian Concordia, terletak di dataran tinggi Antartika, selama setahun. Sebuah lokasi yang dalam beberapa hal mirip keadaan di Mars. Mereka akan mengalami 9 bulan musim dingin bertemperatur -79 derajat C. Mengalami kegelapan total selama 4 bulan.Tidak ada kunjungan dan bantuan pertolongan. Pendek kata, lingkungan dengan tingkat resiko tinggi.

Stasiun Penelitian Concordia selesai dibangun pada 2004. Selain digunakan untuk penelitian perilaku calon astronot, juga untuk mengetahui perkembangan mikroba dan sistem daur ulang air yang telah dipakai.

Tujuan dari "percobaan" itu untuk mengetahui permasalahan dan tantangan apa yang bakal dihadapi astronot nantinya. Untuk kemudian dijabarkan dalam bentuk perangkat yang bisa menunjang kehidupan astronot.

Beberapa hal yang perlu diketahui adalah bagaimana tubuh dan fikiran manusia bisa beradaptasi di lingkungan ekstrem, bagaimana (kerjasama) kru memahami dan menghadapi situasi, apa pengaruhnya terhadap emosi,dan sebagainya.

Jenis percobaan lain dilakukan pada Januari-Februari 2005 dimana ESA meminta 24 sukarelawan wanita untuk tidur selama 60 hari dalam posisi kepala lebih rendah 6 derajat dari kaki. Posisi tidur seperti itu sebagai ilustrasi keadaan tanpa bobot di antariksa. Apa pengaruh psikologisnya terhadap wanita. Perlu diketahui bahwa penelitian seperti ini sebelumnya kebanyakan dilakukan untuk kaum pria.

Dampak Psikologis

Pemahaman mengenai dampak psikologis akibat kondisi ekstrem sangat penting karena selama misi berlangsung, astronot harus dalam kondisi emosional yang stabil, beorientasi pada tujuan misi, tetap memiliki kepekaan terhadap rekan kerja, mampu bekerja sama serta masih memilki selera humor. Pendek kata, lingkungan antariksa tidak mengubah astronot menjadi "manusia lain".

Begitu beratnya misi ke antariksa, seorang kosmonot Rusia berkomentar bahwa berada di lingkungan terisolasi dalam jangka waktu lama memungkinan seseorang bisa menjadi pembunuh bagi rekannya.

Bayangkan untuk perjalanan pergi-pulang ke dan dari Mars saja menempuh waktu beberapa tahun. Astronot akan berada ruangan sempit, terisolasi, kondisi tanpa bobot, terpapar berbagai bentuk radiasi, keterbatasan makanan, dan sebagainya.

Berbeda dengan astronot yang tinggal di Stasiun Antariksa Internasional yang mengorbit Bumi. Mereka masih bisa berkomunikasi dengan keluarganya. Bahkan ada juga yang melangsungkan pernikahan. Mendengarkan musik yang disukai. Atau berbagai bentuk hiburan lain yang bisa mengurangi kejenuhan, atau bahkan depresi. Astronot yang dikirim ke lokasi lebih jauh seperti ke Mars mengalami kondisi lebih sulit. Jauhnya jarak mengakibatkan komunikasi dengan Bumi tidak bisa berlangsung seketika (real time).

Karenanya tidak seindah yang dibayangkan, menjadi astronot memiliki persyaratan yang lebih sulit. Berbagai bentuk latihan dalam waktu panjang diberikan bukan hanya fisik, mental ataupun keahlian teknis berkaitan dengan instrumen pesawat dengan panel-panel yang kelewat banyak namun juga kemampuan menyadari resiko terburuk yaitu kematian.

Perjalanan panjang nan berat tersebut tetap harus dilaksanakan. Karena kalau tidak, manusia akan terus terbuai di dalam kungkungan Bumi.

Nah apakah tetap menyenangkan berada di antariksa ?


Keterangan gambar :

Stasiun Concordia di Antartika (gambar dari ESA)

17 Mei 2008

Mengapa Pergi ke Antariksa ?

Sudah ribuan tahun langit beserta bintang gemerlap yang bertaburan, juga matahari yang terbit-terbenam dengan keindahan panoramanya, dan Bulan yang berubah-ubah bentuk menarik perhatian manusia. Pengamatan lebih teliti kemudian dikenali adalanya planet yang berubah-ubah posisi, komet dan meteor semakin menambah semaraknya warga langit. Ada apakah di sana ?

Pengetahuan manusia atas keadaan langit beserta perubahan fenomenanya menyatu dengan budaya membentuk kepercayaan bahwa langit memiliki pengaruh terhadap kehidupan di Bumi. Langit dipandang sebagai bagian dari kepercayaan.

Pengetahuan mengalami metamorfosis menjadi ilmu pengetahuan mengubah pandangan mitologi langit menjadi bagian dari alam yang harus dipelajari dan dimanfaatkan. Beda dengan ilmu pengetahuan lain, pengetahuan mengenai langit ternyata membutuhkan energi lebih guna mengungkap misterinya dikarenakan hambatan jarak. Justru disinilah letak tantangannya.


Tantangan

Tantangan itu melahirkan penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang akhirnya memberi dampak positif pada penerapan di kehidupan sehari-hari di Bumi. Sebagai contoh, guna mendeteksi obyek langit yang amat redup maka diperlukan “mata” yang amat tajam berupa teleskop baik optik maupun radio. Penemuan teknologi dalam kedua bidang ini tentu memberi pengaruh pada kegiatan manusia di Bumi yang memerlukan alat berupa teleskop.

Pada akhirnya, hingga sekarang, upaya manusia memahami langit, kemudian ditegaskan sebagai antariksa atau luar angkasa yaitu ruang di ketinggian di atas 100 km dari permukaan Bumi, bukan hanya sekedar memuaskan rasa ingin tahu saja. Berbagai macam proyek yang berkaitan dengan eksplorasi antariksa memiliki misi yang amat beragam. Antariksa telah menjadi bagian yang amat dekat dengan kehidupan manusia. Abad 21 sekarang ini semakin menegaskan betapa kian pentingnya antariksa.

Manusia telah ber-evolusi dari manusia yang menapak Bumi karena memandang hanya Bumi sebagai satu-satunya lingkungan yang memberi prospek kehidupan menjadi manusia kosmos yang memandang Bumi sebagai salah satu dari tempat yang memberi prospek kehidupan.

Keberhasilan pesawat ruang angkasa SpaceShipOne dalam menembus batas antariksa kian memperkuat premis di atas. Pasalnya, antariksa bukan menjadi wilayah eksklusif para ilmuwan dan insinyur yang menggelutinya, tetapi telah menjadi medan penjelajahan masyarakat awam.

Secara ringkas disimpulkan mengapa harus pergi ke antariksa dikarenakan beberapa hal yaitu mempelajari cara hidup dan bekerja di antariksa, penelitian di lingkungan hampa udara dan bebas gravitasi atau gravitasi mikro, mengeksplorasi Tata Surya, memahami bagaimana alam raya ini terbentuk dan mencari planet yang mirip Bumi, dan mempelajari lebih mendalam Bumi.


Manusia atau Robot

Abad 21 juga dikatakan sebagai abad robotika. Perkembangan teknologi per-robot-an sekarang ini sudah mencapai tingkat yang mencengangkan seiring perkembangan teknologi dalam orde nano (atau nano teknologi).

Ada pendapat bahwa tugas manusia di dalam eksplorasi ruang angkasa nantinya bisa digantikan dengan robot. Pendapat ini ada benarnya. Pasalnya, tugas-tugas di antariksa memiliki resiko tinggi yang membahayakan keselamatan manusia.

Kita tahu bahwa telah terjadi kecelakaan dalam misi antariksa berulang kali yang membawa kematian bagi astronot. Tercatat hingga kini telah tewas 21 orang astronot.

Ada banyak faktor yang bisa mengakibatkan kecelakaan atau bencana di dalam misi antariksa. Mulai dari kesalahan prosedur pengoperasian teknologi antariksa, adanya kerusakan—meskipun kecil—dari wahana antariksa yang begitu rumit, hingga faktor di luar prediksi manusia seperti tumbukan dengan benda langit dan ledakan radiasi matahari.

Karenanya, pilihan robot menggantikan tugas manusia adalah pilihan yang wajar. Dalam hal ini telah dikembangkan robot dengan bantuan teknologi virtual reality (disebut robonaut) untuk membantu atau menggantikan tugas astronot.

Namun ada beberapa tugas yang tidak bisa digantikan oleh robonaut itu dalam eksplorasi antariksa yaitu :

Sebagai pengamat (observer) dimana manusia dapat menyeleksi dan memilah obyek pengamatan baik dalam lingkup Tata Surya maupun di kedalaman antariksa (deep space).

Sebagai subyek maupun obyek penelitian dimana manusia bisa melakukan inovasi dari misi penelitian di antariksa, sekaligus memahami pengaruh lingkungan tanpa bobot dan tanpa daya dukung kehidupan bagi metabolisme tubuhnya.



Sebagai teknisi dimana manusia mampu memperbaiki kerusakan mesin yang terjadi dan melakukan upaya perbaikan.

Sebagai pemecah masalah dimana dalam misi di luar angkasa banyak sekali kemungkinan munculnya persoalan yang belum terpikirkan selama persiapan di Bumi. Kreatifitas yang dimiliki oleh manusia merupakan anugerah yang tidak dimiliki oleh robonaut.

Dengan melihat itu semua maka sungguh ideal bila upaya mengeksplorasi antariksa memerlukan kerja sama antara manusia (astronot) dengan robot cerdas (robonaut), dimana robonaut bertugas menggantikan pekerjaan astronot yang memiliki resiko tinggi.

Akhirnya, menjawab pertanyaan mengapa manusia harus pergi ke antariksa maka jawabannya kembali kepada seberapa paham manusia mengerti arti penting antariksa itu bagi dirinya.

Label: ,

15 Mei 2008

Demiliterisasi Antariksa, Mungkinkah ?



ANTARIKSA adalah tapal batas akhir penjelajahan manusia (human’s last frontier). Ungkapan ini berarti setelah mampu menjangkau setiap relung permukaan dan angkasa Bumi maka tujuan manusia selanjutnya adalah di luar angkasa Bumi.
Terlepas dari perlombaan senjata yang menghuni antariksa, hingga sekarang ini, berbagai satelit yang diluncurkan telah berhasil mengemban misi yang berguna bagi kemajuan peradaban manusia. Kini, semakin diakui arti penting dan strategisnya antariksa bagi manusia.
Berbagai macam kerja sama internasional dilakukan--terutama-- paska perang dingin di dalam memanfaatkan antariksa menjadi bukti atas arti penting antariksa bagi tujuan damai. Antariksa menjadi milik bersama dan tidak dimonopoli oleh negara kuat manapun. Juga merangsang gelora manusia didalam menjawab tantangan seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Peroketan Rusia, Konstantin E Tsiolkovsky (1857-1935), “Bumi merupakan buaian pikiran, tetapi orang tidak dapat selamanya tinggal dalam buaian”.
Dalam impian futuristik manusia memiliki dua pilihan yaitu membangun koloni di luar Bumi atau terus menerus melakukan penjelajahan di segala penjuru alam semesta dengan membangun koloni di pesawat antariksa.
Sayangnya gambaran bahwa manusia sebagai makhluk cerdas,yang lahir 4,6 milyar tahun setelah Bumi terbentuk, yang diasumsikan memiliki kesadaran bahwa sekarang ini tinggal bersama di sebuah planet kecil yang rapuh ternyata terlalu muluk. Kenyataannya sang homo sapiens berbeda satu dengan yang lain dan terus menerus berkompetisi serta mengedepankan siapa yang kuat.
Semangat bahwa antariksa adalah milik bersama diabaikan. Muncul pertanyaan antitesis “antariksa sebenarnya milik siapa ?“. Jawabnya adalah siapa yang memiliki sumber daya (iptek,manajeman dan dana) terbesar. Termasuk dalam hal penggunaanya untuk tujuan militer. Situasi yang berlawanan secara moralitas.
Muncul kekuatiran banyak pihak.Mengingat ketimpangan sumber daya tiap negara dibandingkan dengan negara maju terutama negara Amerika Serikat, yang menjadi negara super power satu-satunya sekarang ini.
Demiliterisasi
Demiliterisasi antariksa digaungkan oleh banyak pihak. Termasuk Presiden Rusia,Vladimir Putin. Putin menegaskan bahwa negaranya mendukung upaya demiliterisasi antariksa, yaitu antariksa terbebas dari penggunaan militer, namun negaranya tetap siap menghadapi serangan negara lain yang menggunakan antariksa.
Mengikuti tradisi Uni Sovyet (yang telah bubar pada 1991) yang menjadi salah satu pioneer eksplorasi antariksa, hingga sekarang riset dalam bidang antariksa tetap menjadi prioritas negara Rusia. Karena bukan hanya dapat meningkatkan harga diri namun juga menjaga keberlangsungan hidup sebuah negara. Meskipun mendukung upaya demiliterisasi antariksa dan mendorong upaya penggunaan antariksa untuk tujuan damai, namun diakui bahwa antariksa telah manjadi bagian dari strategi politik dan militer.
Putin mengungkapkan hal diatas pada peringatan Hari Kosmonot, yaitu memperingati keberhasilan Yuri Gagarin mengorbit Bumi,ke 43, (Associated Press, 12 April 2004 )
Program Antariksa China
Bila Rusia berpandangan seperti di atas bagaimana dengan negara lain ?
Republik Rakyat China merupakan negara di Asia yang paling disorot mengenai pemanfaatan antariksa.
Di tahun yang sama dengan pidato Vladimir Putin di atas, Departemen Pertahanan AS mengeluarkan laporan tahunan yang salah satu isinya menyoroti perkembangan militer China yang pesat di tahun belakangan dan konsep pengembangannya hingga dua dekade mendatang. Dari segi anggaran militer,anggaran militer China terbesar ketiga setelah AS dan Rusia, dalam kisaran 50 hingga 70 milyar dollar AS. Nomor empat setelah China adalah Jepang. Bahkan di tahun 2007 ini besar anggaran militer China bertambah dalam prosentase tahunan terbesar dibandingkan dengan negara lain. Selain itu muncul kecurigaan,China tidak transparan dalam memberitakan besar anggaran militer yang sebenarnya.
Beberapa proyek penting yang telah,sedang dan akan dijalankan oleh China diantaranya: keberhasilan mengorbitkan astronot (atau taikonout) pertama, meluncurkan satelit komunikasi militer yang mengorbit geosinkron, mengorbitkan satelit yang mampu memotret objek di Bumi, mengorbitkans atelit di orbit rendah yang menjadi cikal bakal pengembangan satelit mini,mengembangkan teknologi yang mampu melacak dan menangkal bahaya yang berasal dari satelit “musuh”. Sebagai contoh teknologi untuk menangkal satelit “musuh” (ASAT) meliputi peluncuran rudal balistik dari permukaan bumi, penggunaan sinar laser berenergi rendah untuk “membutakan” satelit lawan dan senjata pemusnah yang dilepaskan melalui wahana antariksa seperti mikrosatelit parasit, bahkan nanosatelit.
Keberhasilan proyek di atas secara tidak langsung meningkatkan kemampuan China untuk mendayagunakannya bagi kepentingan militer. Kemampuannya meliputi C4ISR atau Command, Control Communications, Computers (C4) Intelligence, Surveillance and Reconnaissance (ISR). Kemampuan seperti ini memberi arti bahwa instrumen militer China dapat bergerak cepat melampui pranata konvensional dalam memutuskan strategi perangnya.

Melanggar Kesepakatan
Ide demiliterisasi antariksa dijawab dengan peluncuran,salah satunya, setelit anti satelit XSS 11 pada April 2005. Satelit buatan The Air Force Research Laboratory milik Departemen Pertahanan AS berbiaya 56 juta dollar AS merupakan jenis satelit yang sedikit mungkin dikendalikan oleh manusia. Satelit ini akan mendekati satelit lawan pada jarak 2 km untuk kemudian melumpuhkannya. XSS 11 merupakan awal dari rangkaian percobaan ASAT. Hingga sekarang tidak ada data pasti berapa satelit militer yang telah diluncurkan dan akan diluncurkan oleh negara adi daya ini.
Penggunaan satelit untuk tujuan militer tidak bisa dielakkan bahkan telah menjadi kewajiban oleh AS, salah satunya adalah peran satelit dalam penyerbuan Irak dan memata-matai proyek penelitian PLTN di Iran.
Lebih dari itu, mantan Menteri pertahanan Donald Rumsfeld mengemukakan rencana AS untuk melanjutkan penelitian perang bintang (yang dicanangkan Presiden Ronald Reagen dengan nama Strategic Defense Initiative,SDI )dengan mengembangkan Sistem pertahanan peluru kendali yang berfungsi bak payung pelindung bagi seluruh wilayah AS yang dinamakan National Missile Defense (NMD) dan Theater Missile Defense (TMD) untuk wilayah samudera.
Meskipun menggunakan istilah “pertahanan” semangat dari program diatas adalah kembali “memiliterisasi antariksa “ (weaponization of space). Secara umum kebijakan pertahanan AS dikatakan Rumsfeld dengan ”mengorganisasikan, melatih dan melengkapi guna mendorong dan melanjutkan sistem pertahanan dan penyerangan di antariksa”.
Kebijakan ini melanggar kesepatan yang diratifikasi oleh 91 negara pada 1967 mengenai Perjanjian Antariksa, yang berisi mengenai “ prinsip-prinsip yang harus dipatuhi oleh tiap negara dalam mengeksplorasi dan mendayagunakan antariksa,termasuk di dalamnya Bulan dan objek langit lainnya,” yang dijiwai oleh semangat untuk “kebaikan peradaban manusia”.
Melihat paparan di atas, muncul kekuatiran bahwa memang sulit menghapus militerisasi antariksa. Antariksa akan tetap menjadi medan peperangan di abad ini.



Keterangan gambar :
Gbr.Peluncuran misil
Salah satu jenis ASAT adalah peluncuran misil melalui pesawat F-15 seperti tampak dalam gambar. F 15 tengah meluncurkan ASM-135 ASAT. Foto diabadikan pada 13 September 1985. (sumber gambar wikipedia)

Hidup Tanpa Sinar Matahari di Europa



Matahari berperan sangat penting dalam proses kelangsungan makhluk hidup, terutama yang berada di permukaan Bumi. Ambil contoh, untuk tumbuhan, cahaya matahari dipergunakan sebagai sumber energi untuk melakukan proses fotosintesis guna menghasilkan karbohidrat dan oksigen. Namun, ada makhluk hidup mampu berfotosintesis tanpa bantuan cahaya matahari.

Penemuan J. Thomas Beatty dari University of British Colombia dan dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences belum lama ini menunjukkan ada sejenis mikroba yang hidup di kegelapan pada kedalaman samudera mampu berfotosintesis menggunakan radiasi panas Bumi yang keluar dari celah hidrotermal.

Mikroba ini menggunakan sistem antena khusus yang bekerja layaknya parabola mikroskopik untuk mengumpulkan cahaya yang berasal dari panas Bumi. Seperti diketahui bahwa pengertian cahaya bukan hanya cahaya tampak, tetapi juga cahaya yang tak tampak, mulai dari infra merah hingga ultra ungu, juga sinar X dan gelombang radio.

Ada juga mikroba yang menggunakan sedikit cahaya untuk fotosintesis seperti bakteri hijau pecinta sulfur di pantai Mexico. Namun, penemuan mikroba di dasar samudera di atas lebih ekstrem.

Penemuan itu memunculkan gagasan bahwa banyak kehidupan muncul tanpa harus tergantung dari cahaya matahari, tetapi tergantung pada sumber energi lain untuk bisa melakukan fotosintesis. Jika pemikiran ini berlaku untuk banyak tempat di kedalaman samudera di Bumi, maka demikian halnya dengan tempat-tempat lain di luar Bumi. Dengan catatan harus memiliki samudera.

Tempat yang memiliki analogi seperti itu adalah Europa.


Satelit Es Yupiter

Europa merupakan salah satu satelit alamiah terbesar Yupiter, selain Io, Ganymede, dan Callisto yang berhasil diamati Galileo tahun 1610. Keempat satelit ini dinamakan Satelit Galilean. Selain Io, ketiga satelit lainnya merupakan satelit yang banyak mengandung es, karenanya disebut Satelit Es Yupiter.

Namun, Europa lebih ekstrem lagi dari hanya sekedar mengandung es karena seluruh permukaannya diselubungi es setebal 10 – 100 km, dan dibawahnya terdapat samudera. Nah, di dasar samudera satelit berjari-jari 1.569 km ini terdapat hidrotermal sehingga memungkinkannya memiliki samudera, tidak membeku seperti bagian atasnya meskipun berjarak 800 juta km dari Matahari ( 5 kali jarak Bumi-Matahari). Istimewanya lagi, hasil sementara dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa di Europa juga terdapat mikroorganisme.

Temperatur permukaan Europa – 162 C dengan tekanan atmosfer 10-7 bar (seper 10 juta tekanan atmosfer di permukaan Bumi). Bisa dikatakan hampir tidak ada atmosfer di sana.

Kemungkinan

Penelitian pakar geologi keplanetan Brad Dalton dari NASA Ames Research Center dengan membandingkan spektrum cahaya inframerah es di permukaan Europa dengan spektrum inframerah mikroorganisme yang hidup saluran air panas di Yellowstone National Park yaitu sianidium sejenis alga yang berfotosintesis, memperlihatkan kemiripan. Namun alga ini tidaklah tepat diandaikan hidup di Europa karena lingkunganya berbeda.

Penelitian lain dilakukan dan ditemukan jenis mikroba yang cukup realistik mampu hidup di Europa adalah Deinococcus radiodurans , Sulfolobus shibatae dan Escherichia coli.
D. radiodurans mampu hidup di lingkungan yang terkena radiasi ultra-violet dan pancaran ion, ekstrem dingin, hampa dan sangat asam. S. shibatae di lingkungan dengan temperatur 80 C dan sangat asam dengan pH 2. E. coli lingkungan bertemperatur sedang 37 C dan netral pH 7.

Dari ketiganya ini hanya D. radiodurans cukup layak mampu tinggal di permukaan Europa sedangkan S. shibatae tinggal di dasar samudera Europa.Terlebih bahwa S. shibatae mampu hidup di lokasi berlimpah magnesium sulfat dan asam sulfur, yang diduga dalam jumlah besar berada di dasar samudera Europa.


Gambar : Satelit Europa, salah satu dari Satelit Es Jupiter

Label:

10 Mei 2008

Mikroba yang Bisa Hidup di Mars

Di Mars diyakini pernah ada kehidupan dibuktikan dengan penemuan meteorit yang tiba di Bumi dan keberadaan air di masa lampau. Saat ini berbagai wahana antariksa sedang mencari kemungkinan adanya kehidupan itu. Bagaimana bentuk kehidupan di Mars ? Apakah sama dengan yang di Bumi ? Masih banyak pertanyaan yang butuh jawaban.

Pertanyaan ini wajar karena lingkungan Mars sangat berbeda dengan Bumi. Atmosfer planet merah itu jauh lebih tipis dari Bumi sehingga radiasi ultraviolet (UV) Matahari yang menimpanya tiga kali lebih besar dibandingkan di Bumi. Betekanan seperseratus dari tekanan atmosfer Bumi dan bertemperatur – 970 C hingga - 5 0 C.

Sayangnya upaya pencarian kehidupan itu perlu dilakukan secara lebih hati-hati. Pasalnya, boleh jadi kehidupan yang ditemukan di sana ternyata berasal dari Bumi yang terbawa oleh wahana antariksa.

Karena kebanyakan wahana ruang angkasa yang mendarat di Mars belum disterilkan sempurna oleh panas dan radioaktif, sehingga kemungkinan ada mikroba Bumi yang ikut. Memang lingkungan ganas Mars akan segera membunuh mikroba itu sebagaimana terlihat dalam uji coba laboratorium. Namun, ternyata ada sejenis mikroba yang diperkirakan akan bertahan pada kondisi tertentu. Jadi tidak semua jenis mokroba tidak mati.

Baru baru ini tim peneliti dari British Antarctic Survey yaitu Charles Cockell dan Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida yaitu Andrew Schuerger dan juga peneliti pada Kennedy Space Center's Space Life Sciences Laboratory menemukan ada sejenis alga biru-hijau atau cyanobacterium yang ternyata mampu beradaptasi dengan lingkungan Mars. Mikroba bandel adalah Chroococcidiopsis yang banyak dijumpai di gurun kering Ross di Antartika hingga gurun panas Negev di Israel.

Hasil simulasi melalui pancaran radiasi seluruh spektrum memperlihatkan bahwa alga biru-hijau mampu bertahan selama 5 menit sedangkan jenis mikroba lain hanya 15 detik. Dan untuk lingkungan Mars, alga biru-hijau akan terus bertahan dan bahkan berkembang bila mereka dilindungi oleh lapisan tanah hanya setebal 1 milimeter dan menemukan air atau nutrisi yang dibutuhkan.

Tentu hasil penelitian yang ditulis di Jurnal Astrobiology merisaukan. Karena banyak tempat di Mars yang bisa menumbuhkembangkan mikroba dari Bumi seperti lembah-lembah Mars yang mungkin menyimpan air di balik permukaannya atau daerah kutub yang memiliki lapisan es.

Oleh karenanya, untuk misi-misi mendatang perlu lebih diperhatikan faktor sterilisasi wahana antariksa. Karena bila hal ini diabaikan akibatnya sangat fatal yaitu pencemaran mikroba dari Bumi ke lokasi di luar Bumi yang dijadikan target misi. Dan bila kemudian misi antariksa itu menemukan kehidupan maka kesimpulan ilmiah mengenai bentuk kehidupan di luar Bumi bisa mengalami kekeliruan. Mikroba yang diduga sebagai makhluk asli di luar Bumi eh ternyata berasal dari Bumi. Sudah menghabiskan dana miliaran dollar, ternyata hasil penelitian menyesatkan. Sungguh tragis, kan.

Pentingnya memperhatikan masalah perpindahan mikroba dari Bumi ke antariksa atau dari Antariksa ke Bumi melalui wahana antariksa memaksa NASA untuk membentuk Planetary Protection Office.

Extremophile

Sebagai tambahan perlu dikemukakan bahwa di Bumi banyak ditemukan extremophile yaitu mikroba yang hidup di lingkungan ekstrem atau tidak normal. Extremo" berarti sangat berlebihan (ekstrem), "phile" berarti menyukai.

Keberadaan extremophile ini sangat penting karena alasan ekonomi yaitu membantu proses industri karena produksi enzim supernya. Juga alasan dalam pencarian keberadaan kehidupan di luar Bumi, terutama pada lingkungan ekstrem.

Beberapa extremophile yang ditemukan berdasarkan tingkat ke-ekstreman-nya adalah di lingkungan terpanas 113 derajat C di Volcano Island, Italia yaitu Pyrolobus fumarii. Lingkungan terdingin - 15 derajat C di Antartika yaitu Cryptoendoliths. Tingkat radiasi tertinggi sebesar 5 Mrad atau 5 ribu kali radiasi yang bisa membunuh manusia yaitu Deinococcus radiodurans. Tempat terdalam yaitu 3,2 km dari permukaan laut. Lingkungan sangat asam dengan pH 0,0 atau sangat basa dengan pH ~13. Tekanan amat tinggi yaitu 1.200 kali tekanan permukaan laut. Mengandung garam dalam konsentrasi tinggi atau 9 kali kandungan garam di dalam darah manusia yaitu Haloarcula.

Kehidupan Tertua di Lava Gunung Berapi

Ini artikel lain yg ditulis lebih dari setahun lalu. Dari pada ngendon di hardisk, mendingan di upload ;D. Terus terang bos lebih setahun ini, saya tidak menulis apa-apa hehehe...



Sebagian dari kita memahami gunung berapi sebagai sesuatu yang menakutkan karena potensi bahayanya. Sebagian lain memahami peranan gunung berapi dalam ekosistem di Bumi, yang ternyata sangatlah penting. Dan bagaimana peran gunung berapi milyaran tahun lalu.

Ternyata dalam sejarah evolusi Bumi, keberadaan gunung berapi berperan dalam memicu munculnya kehidupan। Bahkan makhluk hidup tertua ditemukan di atas lelehan lava।
Ilmuwan berbagai negara (AS, Norwegia, Kanada dan Afrika Selatan) berhasil mengidentifikasi keberadaan makhluk hidup yang diperkirakan sebagai bentuk kehidupan paling awal yang muncul di Bumi.

Salah satu peneliti adalah Hubert Staudigel dari Scripps Institution of Oceanography Universitas California, San Diego. Makhluk hidup berukuran mikroskopik (mikroba) itu ditemukan di lava gunung berapi yang berusia 3,5 milyar tahun di era Archaean. Makhluk ini muncul satu milyar tahun setelah terbentuknya Bumi.

Sekedar tambahan, sebelumnya, pada 2001, Staudigel telah berhasil menemukan organisme mikroskopik yang berukuran lebih kecil dari tebal rambut manusia, yang berada dalam batuan gunung berapi dan membuat sarang seperti lubang cacing.

Temuan makhluk tertua di atas terjadi pada Juni 2005 di Barberton Greenstone Belt, beberapa ratus km dari Johannesburg, Afrika Selatan. Temuan itu membuktikan bahwa proses-proses mikrobiologi dapat diamati sekarang ini meskipun terjadi di awal pembentukan planet.

Barberton Greenstone Belt, sebelumnya bukan tempat yang menarik untuk diteliti, merupakan lapisan kerak Bumi yang berada di dasar laut dan terangkat ke permukaan. Lokasi ini mudah sekali dijangkau oleh air laut termasuk material vulkanik yang berasal dari aktifitas hidrotermal dasar laut.

Karena lokasi temuan sebelumnya berada di dasar laut, maka lokasi relatif terlindungi dari bombardemen atau terbebas meteorit. Dimana kemungkinan besar meteorit tersebut membawa benih kehidupan.

Diidentifikasi ternyata Barberton Greenstone Belt terbentuk dari timbunan lava yang dihasilkan oleh aktifitas vulkanik. Lava yang keluar dari perut Bumi dengan cepat mendingin dan bertumpuk membentuk struktur seperti pipa. Hingga struktur ini mengeras, dan muncul ke permukaan melalui pengikisan.

Kala itu, 3,5 milyar tahun lampau,belum ada tumbuhan dan binatang (mati) yang bisa di makan,karenanya mikroba yang terbentuk memakan batuan vulkanik.

Saat ini,para ahli meneliti dengan cermat menggunakan instrumen yang sensitif untuk mengetahui aktifitas mikroba di lelehan lava.

Sebelumnya di awal 2005, ilmuwan dari Universitas Oregon menemukan fosil bakteri yang diambil dari batuan inti vulkanik dari Hilo, Hawaii, melalui proyek Hawaii Scientific Drilling Program. Batuan itu diambil pada kedalaman 3.000 m dari gunung Mauna Loa yang ternyata bertemu dengan lava dari Mauna Kea pada kedalaman 257 m.

Penemuan fosil mikroba berusia amat tua di kawasan gunung berapi membuktikan bahwa keberadaan gunung berapi memberi kontribusi atas kemunculan makhluk hidup di planet ini.

keterangan gambar :
Gunung Mayon, Filipina