planet_kita

Suatu Saat di Pojok Alam Semesta...

28 Mei 2008

Perang Bintang, Akankah Terjadi ?

Ini tulisan lama,lebih dari setahun lalu. Mungkin sudah basi. Namun ada ide yang masih tetap menarik.


Uji coba senjata penangkal satelit (anti satellite, ASAT) oleh negara China pada 12 Januari lalu ternyata menuai protes dari banyak negara (termasuk Indonesia) dan terutama negara adidaya yaitu Amerika Serikat (AS). Pada ujicoba itu satelit cuaca Feng Yun-1 C (FY-1C) yang berada pada ketinggian 800 km dihancurkan melalui alat penabrak kinetik yang dipasang pada rudal balistik. Uji coba pertama kali sejak era 1980-an, setelah meredanya perang dingin (cold war).

Protespun berkembang pada persoalan perkembangan kekuatan militer China yang signifikan dimana parameter yang bisa diukur adalah peningkatan anggaran militer dari prosentase APBN negara Tirai Bambu tersebut,terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Rusia.

Ujicoba ASAT di atas,boleh jadi, adalah puncak dari gunung es kebangkitan negara China untuk mempersiapkan diri sebagai negara superpower abad 21 dimana kekuatan ekonomi dan politik dunia akan berpindah ke benua Asia. Selain China,India mengakui memiliki kemampuan untuk membuat ASAT.

Selain peningkatan anggaran militer, China mengubah paradigma pertahanan negara dan model perang tidak lagi secara konvensional namun mengikuti apa yang seperti tergambar dalam fiksi ilmiah yaitu perang digital.

Semua instrumen militer diharuskan akrab dan melekat dengan perangkat teknologi digital. Ada konvergensi dan integrasi kekuatan militer di semua matra, baik di darat, udara,permukaan laut, bawah laut dan luar angkasa. Kita bisa membayangkan bahwa ramalan China akan menjadi super power pengimbang negara AS bukanlah tanpa dasar.

Karenanya menjadi sangat penting bila basis kekuatan militer berada pada ruang yang begitu strategis yang bisa “menyatukan dan melihat” seluruh permukaan Bumi dengan leluasa yaitu di luar angkasa.

Perang Bintang

Dalam fiksi ilmiah kurun ratusan tahun mendatang sering digambarkan peperangan di luar Bumi menggunakan pesawat antariksa supercanggih,sama seperti halnya perang di angkasa Bumi menggunakan pesawat terbang ataupun rudal dan anti rudal.

Hingga kini perang di antariksa tidak terjadi. Dalam masa perang dingin, “perang” yang diperlihatkan adalah pembuatan dan mengorbitkan satelit yang mampu menundukkan dan bahkan menghancurkan satelit lawan. Satelit yang dipakaipun berfungsi pula untuk memata-matai kondisi lawan dengan melakukan pengamatan (surveilance) dan pengintaian (reconnaissance). Pengamatan adalah bentuk kegiatan pemantauan yang bersifat regular,sementara pengintaian digunakan untuk mengumpulkan dan melacak data-data intelijen spesifik (khusus) yang bersifat siap saji dalam kondisi yang mendesak serta amat penting.

Meskipun begitu, kebutuhan penggunaan satelit sebagai senjata pembunuh masih kalah dibandingkan sistem antirudal balistik dikarenakan dua hal yaitu pertama, waktu yang lebih pendek bagi rudal balistik untuk membunuh sasarannya sambil tetap berada pada jalur lintasannya tatkala masuk kembali ke atmosfer dan; kedua, untuk satelit memiliki kelemahan berkaitan dengan jalur orbitnya yang tetap sehingga mudah diprediksi musuh. Namun untuk melumpuhkan satelit bukan perkara yang mudah dikarenakan laju orbitnya mencapai puluhan ribu km, sebagai contoh satelit Rusia mencapai laju 37 ribu km/jam pada ketinggian di atas 320 km.

Untuk itu secara umum dilakukan dua cara untuk menaklukan satelit yaitu pada satelit yang mengorbit rendah (beberapa ratus km di atas permukaan Bumi) digunakan senjata laser berbasis darat dan menggunakan pesawat tempur konvensional yang telah dimodifikasi seperti F 15 untuk meluncurkan rudal.

Sedangkan pada satelit yang mengorbit tinggi dan geostationer, ribuan km di atas muka Bumi, dipergunakan rudal balistik , senjata energi terarah dan senjata pemancar sinar partikel atau kanon sinar laser yang disematkan pada satelit. Keuntungan penggunaan sinar laser di luar atmosfer Bumi adalah berkas sinarnya dapat dipropagasi tanpa terpengaruh atmosfer Bumi sehingga bisa mengalami penyimpangan ataupun pelemahan energinya.

Awalnya Uni Sovyet mengembangkan Sistem Pemboman Orbit Terpencar (Fractional Orbit Bombardement System,FOBS) dimana sebuah senjata nuklir ditempatkan dalam orbit melalui wahana pengangkut rudal balistik SS-9. Sebelum mencapai orbit yang ditargetkan pada ketinggian 800 km, sebuah roket dengan semburan yang berlawanan arah wahana pengangkut ini menyala untuk mengeluarkan senjata nuklir keluar dari orbit SS-9 dan siap menghantam sasaran yang diincar.

Program FOBS ini menakutkan AS dan sekutunya karena dapat melumpuhkan bateri rudal anti rudal balistik beserta radal peringatan dini yang berbasis di darat. Bila semuanya ini terjadi, akan mudah bagi Uni Sovyet mengirimkan rudal balistik ke sejumlah sasaran di AS karena sudah tidak memiliki “perisai” lagi.

Sebagai tandingannya pada 1960, AS mengembangkan Satellite Inteceptor (SAINT) yang akan memantau satelit musuh lalu menghancurkannya. Dalam perkembangannya, pola penghancuran satelit menggunakan satelit diganti menggunakan rudal balistik berhulu ledak nuklir Nike-Zeus (NZ),program 437 dengan rudal Thor, Miniatur Homing Device (MHD) yang dibawa pesawat F-15.

ASAT yang paling menakutkan adalah menebarkan sejumlah bahan peledak yang berfungsi sebagai ranjau yang ditempatkan pada orbit tertentu. Satelit milik siapapun yang berada dekat ranjau ini akan terkena getahnya.

“Perang antariksa” yang tidak pernah terjadi di atas berakhir setelah Uni Sovyet menghentikan program ASATnya di era 1980-an. Antariksa menjadi tenang, terlebih ada kerja sama antara kedua negara kampium teknologi antariksa tersebut untuk membangun stasiun antariksa internasional, yang merupakan usulan mendiang presiden Ronald Reagen pada 1984.


Kompetisi

Medan laga perang lantas bergeser pada kompetisi untuk sebanyak dan semasif mungkin menguasai jaringan informasi dan telekomunikasi dunia.

Sebagai contoh adalah upaya Uni Eropa dengan meluncurkan satelit Giove-A, satelit pertama dari proyek satelit navigasi Galileo pada 28 Desember 2005. Proyek ini merupakan saingan dari Global Positioning System (GPS) yang dikendalikan oleh militer AS yang merupakan satu-satunya sistem navigasi berbasis satelit yang menjangkau seluruh dunia.

Proyek bernilai 4,27 milliar dollar AS menegaskan Uni Eropa tidak bergantung lagi pada sistem GPS. Keakuratan Galileopun lima kali dari keakuratan GPS.Meskipun ada kerja sama antara Uni Eropa dan AS, kompetisi antariksa tetap tidak bisa melepaskan dari dari hukum pasar. Artinya siapa yang bisa memenuhi kebutuhan pasar, dialah yang menjadi pemenang.



Perang lagi ?

Kompetisi yang menjadi model “perang bintang”baru di tengah dunia dalam kondisi aman boleh jadi dijungkirbalikkan oleh percobaan ASAT negara China. Dunia kembali dihadapkan pada pilihan bahwa perang bintang,seperti yang digambarkan dalam film fiksi ilmiah di atas,bisa terwujud. Nasehat kuno yang mengatakan bahwa untuk menjaga perdamaian tiap negara harus siap berperang tetap ternyata berlaku hingga kini (dan mendatang).

Contohnya seperti yang ditulis oleh Allen Thomson, yang pernah bekerja sebagai analis pada Central Intelligence Agency pada 1972-1985, dalam Jurnal Space Policy Februari 1995 berjudul “Satellite Vulnerability: a post-Cold War issue?” yang mengusulkan pentingnya membenahi manajemen satelit mata-mata AS dan penggunaan ASAT belajar dari perang teluk 1991. Dimana saat itu diketahui Irak memiliki kemampuan rudal jarak menengah SCUD, yang boleh jadi negara lain yang menjadi “rival” AS pun memiliki kemampuan serupa.Misalkan saja untuk satelit mata-mata yang berorbit rendah low earth orbit (LEO), dapat dengan mudah diketahui, bahkan oleh perkumpulan amatir.

Memang ada kesepakatan internasional yang menegaskan bahwa antariksa adalah ruang yang diperuntukkan untuk tujuan damai.Namun bukankah tidak ada yang abadi di dunia ini.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda