planet_kita

Suatu Saat di Pojok Alam Semesta...

27 Juni 2008

Sistem Optika Adaptif

Pengamatan astronomi dengan menggunakan teleskop optik landas Bumi memiliki kelemahan yaitu cahaya dari benda di antariksa mengalami gangguan akibat atmosfer yang terus bergerak (turbulensi) dalam perjalanannya menuju permukaan Bumi.

Bintang di malam hari tampak berkelap-kelip karena gelombang cahaya yang tiba di mata tidak teratur. Demikian halnya, cahaya yang tiba di permukaan teleskop akan menghasilkan citra kurang tajam. Terlebih untuk obyek yang amat redup.

Untuk mengurangi turbulensi atmosfer banyak teleskop dibangun di tempat tinggi. Namun, tetap saja, setinggi apapun teleskop berada di muka Bumi, akan selalu berada dalam lapisan atmosfer.

Nah bagaimana caranya untuk mengurangi atau bahkan meniadakan pengaruh atmosfer bagi perjalanan cahaya hingga tiba di permukaan teleskop ? Untuk itu dikembangkan teknologi Sistem Optika Adaptif (adaptive optics). Teknologi ini semula dipergunakan di Departemen Pertahanan Amerika Serikat dalam proyek perang bintang (star war) dan satelit mata-mata di era 1980-an. Kemudian diadaptasi untuk keperluan penelitian ilmiah.


Perlengkapan

Sebuah teleskop optik berteknologi Optika Adaptif dilengkapi dengan perlengkapan tambahan berupa :

- Pemancar laser monokromatis untuk menciptakan bintang semu / bintang buatan di lapisan atas atmosfer Bumi,
- Cermin karet (rubber mirror) yaitu cermin berpermukaan lentur (bisa berubah bentuk) karena merupakan kumpulan cermin-cermin kecil yang bisa bergerak naik-turun. Pergerakan cermin karet disebabkan oleh pergerakan halus aktuator (semacam per) dalam orde mikron (1/.1000 cm) dalam waktu sangat singkat ( orde 1/1.000 detik) yang diletakkan dibawahnya.
- Komputer berkecepatan tinggi untuk menggerakkan aktuator sehingga bisa mengubah bentuk cermin karet
- Cermin setengah tembus berguna untuk sebagian memantulkan cahaya dan sebagian meneruskan cahaya yang mengenainya
- Sensor muka gelombang berguna untuk memecah cahaya menjadi beberapa berkas dari cahaya yang menimpanya. Cahaya yang menimpa sensor ini sudah berkurang setengah intensitasnya karena setengahnya lagi menimpa
- Detektor optik

Prinsip Kerja

Pertama-tama harus ada sumber cahaya terang yang bisa dijadikan rujukan untuk mengukur besarnya turbulensi atmosfer. Contohnya bintang terang. Namun keberadaan bintang terang ini hanya di beberapa lokasi tertentu,tidak menjangkau seluruh bola langit. Akibatnya pengamtan akan dibatasi lokasi obyek dan waktu. Karenanya diciptakan bintang semu / buatan yang berasal dari pancaran sinar laser di arah obyek yang akan diamati.

Pancaran sinar laser itu akan mengeksitasikan atom sodium di lapisan atas atmosfer. Akan tercipta “titik kecil”, yang lebih panas dari sekitarnya. Titik kecil itulah "bintang buatan”.

Cahaya masuk ke dalam teleskop dan menuju ke cermin karet, lalu dipantulkan ke cermin setengah tembus. Melalui cermin setengah tembus, setengah intensitas cahaya dipantulkan ke detektor dan setengahnya lagi diteruskan ke sensor muka gelombang untuk dipecah menjadi beberapa berkas. Bila turbulensi atmosfer besar akan terjadi interferensi.

Besar kecilnya interferensi di sensor muka gelombang diteruskan ke komputer, yang secara otomatis mengoreksi bentuk cermin karet. Perubahan bentuk cermin karet mengakibatkan besar interferensi yang diterima sensor muka gelombang kian berkurang. Demikian seterusnya melalui umpan balik itu interferensi menjadi minimal.

Karena kondisi atmosfer senantiasa berubah, maka kinerja komputer harus sangat cepat sehingga koreksi terhadap cermin karet berlangsung seketika (real time).

Melalui perkembangan teknologi dimungkinkan kian sempurna kinerja Sistem Optika Adaptif, seperti diameter cermin karet kian besar dengan jumlah aktuator semakin banyak dan pergerakan kian halus dan cepat.

Peristiwa penting yang perlu dicatat dalam pengembangan teknologi Sistem Optika Adaftif adalah keberhasilan European Southern Observatory di Cerro Paranal, Cili.

Pada 28 Januari 2006, sinar laser pada teleskop Yepun berdiameter 8,2 meter menghasilkan bintang buatan berdiameter 50 cm di ketinggian 90 km, untuk pertama kalinya di belahan langit selatan. Melalui teknologi ini diharapkan mencapai ketajaman citra seperti teleskop antariksa Hubble.

Label:

Teleskop Spitzer Mengungkap “Dunia Gelap” Alam Raya

Teleskop Spitzer adalah teleskop antariksa pertama yang diluncurkan dalam lintasan orbit Bumi. Teleskop ini selalu mengekor gerak Bumi mengitari Matahari.

Dicetuskan oleh astronom Lyman Spitzer (26 Juni 1914 - 31 Maret 1997) saat menjabat ketua Departemen Astrofisika Universitas Princeton di usianya ke 33 tahun pada 1946. Teleskop berbiaya 2,2 milyar dollar AS diluncurkan pada 25 Agustus 2003 dengan roket Delta II jam 01.35 waktu setempat dari Cape Canaveral, Florida, AS, setelah penundaan dan mengalami pengembangan selama 2 dekade.

Semula teleskop ini bernama Space Infra Red Telescope Facilities (SIRTF) karena beroperasi di rentang cahaya inframerah dengan panjang gelombang 3-180 mikrometer. Sebagai penghormatan terhadap penggagasnya, nama teleskop diubah menjadi Teleskop Spitzer.

Untuk mendapatkan kemampuan teleskop seperti yang dimaksudkan, teleskop dengan berat 865 kg dan tinggi 4 m lensanya terbuat dari berilium, sebuah material yang amat ringan, yang didinginkan di dalam helium cair sebanyak 360 liter pada temperatur dibawah - 268 derajat C. Mendekati temperatur nol mutlak.

Melalui lensa berdiameter 85 cm dan berat 50 kg itulah para astronom mendeteksi obyek alam semesta yang bertemperatur amat rendah yang tidak teramati melalui cahaya tampak,seperti proses terbentuknya bintang.Dimana sebuah benda yang berada di pusat piringan akresi belum melakukan reaksi fusi nuklir di intinya.

Kemampuan yang menakjubkan inilah yang membawa manusia melihat "kenyataan lain", kosmos yang sedang membentuk yang diselubungi oleh awan gas dan debu raksasa.

Tertunda

Spitzer merupakan sistem peneropongan bintang sistem peneropongan bintang (Great Observatories) ke-empat yang diluncurkan NASA. Sebelumnya telah diluncurkan Teleskop Antariksa Hubble pada 1990; Gamma Ray Observatory, pada 1991 dan Chandra X-Ray Observatory pada 1999. Keempat teleskop tersebut memiliki fungsi berbeda karenanya bekerja pada rentang panjang gelombang berbeda.
Bila mengikuti jadwal semula harusnya Spitzer diluncurkan pada 1990, setelah direncanakan dengan matang pada 1983. Perubahan penting teleskop Spitzer adalah posisi orbitnya di antariksa.
Bila semula akan diletakkan mengitari Bumi, seperti halnya teleskop Hubble, kemudian diubah di orbit Bumi. Artinya teleskop ini berada di orbit heliosentris.Spitzer mengitari Matahari, sebagaimana halnya Bumi.
Menggunakan cahaya Matahari sebagai sumber energinya, semula teleskop ini berjarak 42 juta km dari Bumi dan bertambah 18 juta km tiap tahunnya. Dengan cara ini memberikan keuntungan yaitu selain bisa menghemat sumber tenaga listriknya, Spitzer tidak terganggu oleh panas yang dipantulkan Bumi.
Selain itu, panel surya yang bertugas menangkap radiasi Matahari juga berfungsi melindungi teleskop “supaya tetap dingin “, saat yang sama melindungi arah pandang teleskop yang dioperasikan selalu menjauhi arah Matahari.
Amat Sensitif
Melalui cermin utama berdiameter hampir 1 m yang ekstra sensitif (benda seukuran remote kontrol TV sejauh 40.000 km mampu dideteksi) dan amat dingin, panas serendah apapun di kedalaman antariksa yang merentang dalam panjang gelombang inframerah dideteksi, dipantulkan dan difokuskan menuju cermin sekunder yang lebih kecil yang berhadapan dengan cermin utama.
Selanjutnya dipantulkan lagi melewati lobang di bagian tengan cermin utama menuju tiga instrumen ilmiah yang ditempatkan dibelakang cermin utama. Ketiga instrumen itu adalah Fotometer Pencitraan Multikanal (MIPS), Spektograf inframerah (IRS) dan Kamera Susunan Inframerah (IRAC) akan menganalisa cahaya inframerah dalam berbagai frekuensi (atau panjang gelombangnya). Tangki helium cair diletakkan dibagian bawah ketiga instrumen tersebut.
Dengan kemampuannya seperti di atas, dalam 3 tahun ini, teleskop Spitzer telah memberikan informasi yang berharga mengenai objek-objek alam semesta,terutama proses lahirnya bintang baru yang berada dalam selubung awan gas dan debu.

Layaknya dokter dengan peralatan medis USG untuk melihat dan memantau perkembangan janin di dalam rahim, Spitzer memainkan peran mengungkap keajaiban-keajaiban alam semesta yang tidak kasat mata. “Dunia gelap” dalam pandangan cahaya tampak yang ternyata begitu hingar bingar dalam pandangan Spitzer.

Label:

Para Pemburu “Bumi Lain” di Luar Bumi

Peluncuran berbagai jenis teleskop antariksa dalam perburuan planet di luar Tata Surya akan semakin melengkapi pemahaman manusia mengenai pembentukan sistem bintang dan jenis planet beserta pengiring lainnya.

Berapa jumlah planet di alam semesta ? Atau pertanyaan yang "lebih dekat" adalah berapa jumlah planet di Galaksi Bima Sakti ? Tidak ada yang tahu. Saat ini yang diketahui adalah sebuah bintang memungkinkan memiliki lebih dari satu buah planet. Atau pada sistem bintang ganda (dua sistem bintang) atau majemuk (lebih dari 2 sistem bintang) bisa memiliki planet.

Bisa dipastikan melalui peluncuran berbagai teleskop antariksa di bawah ini, penemuan extrasolar-planets akan lebih deras dari yang telah dilakukan teleskop landas Bumi yang kini telah menemukan lebih dari 208 buah planet dalam kurun 16 tahun, terhitung sejak ditemukannya extrasolar planet pertama kali pada 1995.


Teleskop Eddington

Pada Oktober 2000, usulan proyek teleskop Eddington diloloskan dan dimasukkan dalam program ilmiah Horizons 2000+ dalam misi di bawah naungan Badan Antariksa Eropa (ESA). Selanjutnya ESA mengundang berbagai institusi ilmiah dan individu yang tertarik dan memiliki kompetensi untuk terlibat dalam misi Eddington.

Kontrak pembuatan teleskop ini dipercayakan pada konsorsium Astrium di Perancis.Perusahaan ini dipercaya bukan hanya merancang bentuk optik teleskop sehingga menghasilkan citra yang presisi tetapi juga menentukan jenis material apa yang digunakan dalam pembuatan teleskop.

Sama seperti misi yang diemban teleskop COROT, Eddington melakukan survei pada berbagai bintang dan mengamati planet yang transit di depannya. Instrumennya akan mampu mengamati perubahan cahaya yang sedemikian kecil akibat melintasnya sebuah objek di depan bintang.

Satu kendala penggunakan cermin adalah masalah aberasi sferis yaitu fokus cahaya yang datang ditengah berbeda dengan yang datang di tepi cermin. Untuk mengatasi hal ini, biasanya di depan cermin diletakkan lensa pengoreksi yang berfungsi agar semua cahaya yang datang, baik dari tepi ataupun dari tengah cermin dipantulkan ke titik fokus yang sama. Keberadaan lensa pengoreksi ini akan memberatkan bila digunakan pada teleskop Eddington.

Karenanya digunakan solusi dengan memakai dua buah cermin. Satu cermin utama dan satu cermin yang lebih kecil lagi. Cahaya tiba di cermin utama, dipantulkan ke cermin yang lebih kecil dipantulkan lagi menuju kamera, dimana sebelumnya melewati rangkaian lensa yang lebih kecil untuk mengoreksi aberasi.

Teleskop Eddington direncanakan diluncurkan setelah tahun 2007 dengan target perngamatan 500 ribu bintang.


Teleskop Kepler

Teleskop Kepler merupakan bagian dari misi Discovery yang diloloskan NASA pada Desember 2001. Target utama misi Kepler adalah menemukan planet seukuran Bumi di sekitar bintang yang mirip Matahari di galaksi Bima Sakti.

Dalam misi selama 4 tahun ditargetkan Kepler akan memantau tak kurang dari 100 ribu bintang dan menemukan 500 buah planet seukuran Bumi dan lebih dari 1.000 planet seukuran Yupiter.

Diasumsikan bahwa planet seperti Bumi kita itu akan mengorbit bintang seperti Matahari kita pada jarak antara Bumi dengan asteroid yang biasa dinamakan "Habitable Zone", lokasi yang tidak terlalu dingin dan terlalu panas, dan air kemungkinan dalam kondisi cair bukan beku.

Direncanakan Kepler dengan cerminnya berdiameter 95 cm diluncurkan pada Oktober 2008.


Teleskop Darwin

Sesuai dengan namanya "Darwin" yang identik dengan evolusi bentuk kehidupan, teleskop Darwin yang direncanakan pada 1993 diperuntukkan mencari kehidupan di planet lain di luar Tata Surya. Darwin akan mengamati seribu bintang terdekat dengan Matahari.

Teleskop yang beroperasi di rentang cahaya inframerah ini paling canggih dibandingkan teleskop antariksa lainnya karena bukan hanya sekedar mencari planet seukuran Bumi atau planet bebatuan tetapi juga mengamati kondisi atmosfer planet tersebut.

Informasi mengenai komposisi kimia atmosfer planet akan menghasilkan interpretasi mengenai kondisi seperti apa di balik atmosfer itu.

Sebagai contoh adalah Bumi. Di planet kita ini, aktifitas biologi menghasilkan gas yang mempengaruhi komposisi atmosfer. Tumbuhan menghasilkan oksigen dan binatang menghasilkan karbondioksida dan metana.

Berbagai senyawa gas juga air memiliki ciri khas yang merupakan "sidik jarinya" melalui pemantulan cahaya inframerah dimana Darwin mampu mengamati keberadaan "sidik jari" tersebut.

Kemunculan atau berkurangnya sebuah atau beberapa senyawa gas pada sebuah planet akan diidentifikasi melalui spektrometer Darwin. Perubahan komposisi gas inilah yang menghasilkan interpretasi "ada apa" dibalik atmosfer planet yang mengorbit bintang nun jauh di sana. Apakah ada kehidupan di sana ?

Bisa dikatakan Darwin merupakan teleskop antariksa raksasa, yang disusun melalui 4 hingga lima kali misi wahana antariksa. Tiap wahana antariksa akan membawa teleskop dengan diameter 3 hingga 4 m. Keseluruhan rangkaian cermin Darwin bila disebandingkan dengan teleskop di Bumi setara dengan teleskop berdiameter 100 m.

Keistimewaan Darwin adalah bahwa cara bekerjanya menggunakan metode yang dinamakan "nulling interferometry". Melalui cara ini cahaya bintang induk tempat planet berada direduksi dengan cara diberikan interferensi sehingga tidak lagi menyilaukan dan planet berukuran kecil dapat diamati.

Proyek Darwin menjadi proyek kerja sama antara ESA dengan NASA dimana kemudian Rusia dan Jepang turut terlibat. Direncanakan diluncurkan pada 2013. Dan ditempatkan di titik Lagrange 2 sejarak 1,5 juta km dari Bumi beroposisi dengan Matahari (menjauhi arah Matahari dari satu bentangan garis lurus Matahari- Bumi).

Label:

Melampui COROT, Teleskop Antariksa Lain Pemburu Bumi yang akan Diluncurkan

Peluncuran Teleskop COROT milik Badan Antariksa Nasional Perancis pada akhir Desember 2006 lalu akan diikuti dengan peluncuran teleskop antariksa lainnya,bahkan dengan kemampuan yang lebih tinggi.

Peluncuran berbagai jenis teleskop antariksa dalam perburuan planet di luar Tata Surya (extrasolar-planets) akan semakin melengkapi pemahaman manusia mengenai pembentukan sistem bintang dan jenis planet beserta pengiring lainnya.

Berapa jumlah planet di alam semesta ? Atau pertanyaan yang "lebih dekat" adalah berapa jumlah planet di Galaksi Bima Sakti ? Tidak ada yang tahu. Saat ini yang diketahui adalah sebuah bintang memungkinkan memiliki lebih dari satu buah planet. Atau pada sistem bintang ganda (dua sistem bintang) atau majemuk (lebih dari 2 sistem bintang) bisa memiliki planet.

Bisa dipastikan melalui peluncuran berbagai teleskop antariksa di bawah ini, penemuan extrasolar-planets akan lebih deras dari yang telah dilakukan teleskop landas Bumi yang kini telah menemukan lebih dari 208 buah planet dalam kurun 16 tahun, terhitung sejak ditemukannya extrasolar planet pertama kali pada 1995.


Teleskop Eddington

Pada Oktober 2000, usulan proyek teleskop Eddington diloloskan dan dimasukkan dalam program ilmiah Horizons 2000+ dalam misi di bawah naungan Badan Antariksa Eropa (ESA). Selanjutnya ESA mengundang berbagai institusi ilmiah dan individu yang tertarik dan memiliki kompetensi untuk terlibat dalam misi Eddington.

Kontrak pembuatan teleskop ini dipercayakan pada konsorsium Astrium di Perancis.Perusahaan ini dipercaya bukan hanya merancang bentuk optik teleskop sehingga menghasilkan citra yang presisi tetapi juga menentukan jenis material apa yang digunakan dalam pembuatan teleskop.

Sama seperti misi yang diemban teleskop COROT, Eddington melakukan survei pada berbagai bintang dan mengamati planet yang transit di depannya. Instrumennya akan mampu mengamati perubahan cahaya yang sedemikian kecil akibat melintasnya sebuah objek di depan bintang.

Satu kendala penggunakan cermin adalah masalah aberasi sferis yaitu fokus cahaya yang datang ditengah berbeda dengan yang datang di tepi cermin. Untuk mengatasi hal ini, biasanya di depan cermin diletakkan lensa pengoreksi yang berfungsi agas semua cahaya yang datang, baik dari tepi ataupun dari tengah cermin dipantulkan ke bidang fokus yang sama. Keberadaan lensa pengoreksi ini akan memberatkan bila digunakan pada teleskop Eddington.

Karenanya digunakan solusi dengan memakai dua buah cermin. Satu cermin utama dan satu cermin yang lebih kecil lagi. Cahaya tiba di cermin utama, dipantulkan ke cermin yang lebih kecil dipantulkan lagi menuju kamera, dimana sebelumnya melewati rangkaian lensa yang lebih kecil untuk mengoreksi aberasi.

Teleskop Eddington direncanakan diluncurkan setelah tahun 2007 dengan target perngamatan 500 ribu bintang.


Teleskop Kepler

Teleskop Kepler merupakan bagian dari misi Discovery yang diloloskan NASA pada Desember 2001. Target utama misi Kepler adalah menemukan planet seukuran Bumi di sekitar bintang yang mirip Matahari di galaksi Bima Sakti.

Dalam misi selama 4 tahun ditargetkan Kepler akan memantau tak kurang dari 100 ribu bintang dan menemukan 500 buah planet seukuran Bumi dan lebih dari 1.000 planet seukuran Yupiter. (Wow... bisa dibayangkan kita akan cukup pusing untuk mengenal satu persatu planet tersebut)

Diasumsikan bahwa planet seperti Bumi kita itu akan mengorbit bintang seperti Matahari kita pada jarak antara Bumi dengan asteroid yang biasa dinamakan "Habitable Zone", lokasi yang tidak terlalu dingin dan terlalu panas, dan air kemungkinan dalam kondisi cair bukan beku.

Direncanakan Kepler dengan cerminnya berdiameter 95 cm diluncurkan pada Oktober 2008.


Teleskop Darwin

Sesuai dengan namanya "Darwin" yang identik dengan evolusi bentuk kehidupan, teleskop Darwin yang direncanakan pada 1993 diperuntukkan mencari kehidupan di planet lain di luar Tata Surya. Darwin akan mengamati seribu bintang terdekat dengan Matahari.

Teleskop yang beroperasi di rentang cahaya inframerah ini paling canggih dibandingkan teleskop antariksa lainnya karena bukan hanya sekedar mencari planet seukuran Bumi atau planet bebatuan tetapi juga mengamati kondisi atmosfer planet tersebut.

Informasi mengenai komposisi kimia atmosfer planet akan menghasilkan interpretasi mengenai kondisi seperti apa di balik atmosfer itu.

Sebagai contoh adalah Bumi. Di planet kita ini, aktifitas biologi menghasilkan gas yang mempengaruhi komposisi atmosfer. Tumbuhan menghasilkan oksigen dan binatang menghasilkan karbondioksida dan metana.

Berbagai senyawa gas juga air memiliki ciri khas yang merupakan "sidik jarinya" melalui pemantulan cahaya inframerah dimana Darwin mampu mengamati keberadaan "sidik jari" tersebut.

Kemunculan atau berkurangnya sebuah atau beberapa senyawa gas pada sebuah planet akan diidentifikasi melalui spektrometer Darwin. Perubahan komposisi gas inilah yang menghasilkan interpretasi "ada apa" dibalik atmosfer planet yang mengorbit bintang nun jauh di sana. Apakah ada kehidupan di sana ?

Bisa dikatakan Darwin merupakan teleskop antariksa raksasa, yang disusun melalui 4 hingga lima kali misi wahana antariksa. Tiap wahana antariksa akan membawa teleskop dengan diameter 3 hingga 4 m. Keseluruhan rangkaian cermin Darwin bila disebandingkan dengan teleskop di Bumi setara dengan teleskop berdiameter 100 m.

Keistimewaan Darwin adalah bahwa cara bekerjanya menggunakan metode yang dinamakan "nulling interferometry". Melalui cara ini cahaya bintang induk tempat planet berada direduksi dengan cara diberikan interferensi sehingga tidak lagi menyilaukan dan planet berukuran kecil dapat diamati.

Proyek Darwin menjadi proyek kerja sama antara ESA dengan NASA dimana kemudian Rusia dan Jepang turut terlibat. Direncanakan diluncurkan pada 2013. Dan ditempatkan di titik Lagrange 2 sejarak 1,5 juta km dari Bumi beroposisi dengan Matahari (menjauhi arah Matahari dari satu bentangan garis lurus Matahari- Bumi).

Label:

Melampui COROT, Teleskop Antariksa Lain Pemburu Bumi yang akan Diluncurkan

Peluncuran Teleskop COROT milik Badan Antariksa Nasional Perancis pada akhir Desember 2006 lalu akan diikuti dengan peluncuran teleskop antariksa lainnya,bahkan dengan kemampuan yang lebih tinggi.

Peluncuran berbagai jenis teleskop antariksa dalam perburuan planet di luar Tata Surya (extrasolar-planets) akan semakin melengkapi pemahaman manusia mengenai pembentukan sistem bintang dan jenis planet beserta pengiring lainnya.

Berapa jumlah planet di alam semesta ? Atau pertanyaan yang "lebih dekat" adalah berapa jumlah planet di Galaksi Bima Sakti ? Tidak ada yang tahu. Saat ini yang diketahui adalah sebuah bintang memungkinkan memiliki lebih dari satu buah planet. Atau pada sistem bintang ganda (dua sistem bintang) atau majemuk (lebih dari 2 sistem bintang) bisa memiliki planet.

Bisa dipastikan melalui peluncuran berbagai teleskop antariksa di bawah ini, penemuan extrasolar-planets akan lebih deras dari yang telah dilakukan teleskop landas Bumi yang kini telah menemukan lebih dari 208 buah planet dalam kurun 16 tahun, terhitung sejak ditemukannya extrasolar planet pertama kali pada 1995.


Teleskop Eddington

Pada Oktober 2000, usulan proyek teleskop Eddington diloloskan dan dimasukkan dalam program ilmiah Horizons 2000+ dalam misi di bawah naungan Badan Antariksa Eropa (ESA). Selanjutnya ESA mengundang berbagai institusi ilmiah dan individu yang tertarik dan memiliki kompetensi untuk terlibat dalam misi Eddington.

Kontrak pembuatan teleskop ini dipercayakan pada konsorsium Astrium di Perancis.Perusahaan ini dipercaya bukan hanya merancang bentuk optik teleskop sehingga menghasilkan citra yang presisi tetapi juga menentukan jenis material apa yang digunakan dalam pembuatan teleskop.

Sama seperti misi yang diemban teleskop COROT, Eddington melakukan survei pada berbagai bintang dan mengamati planet yang transit di depannya. Instrumennya akan mampu mengamati perubahan cahaya yang sedemikian kecil akibat melintasnya sebuah objek di depan bintang.

Satu kendala penggunakan cermin adalah masalah aberasi sferis yaitu fokus cahaya yang datang ditengah berbeda dengan yang datang di tepi cermin. Untuk mengatasi hal ini, biasanya di depan cermin diletakkan lensa pengoreksi yang berfungsi agas semua cahaya yang datang, baik dari tepi ataupun dari tengah cermin dipantulkan ke bidang fokus yang sama. Keberadaan lensa pengoreksi ini akan memberatkan bila digunakan pada teleskop Eddington.

Karenanya digunakan solusi dengan memakai dua buah cermin. Satu cermin utama dan satu cermin yang lebih kecil lagi. Cahaya tiba di cermin utama, dipantulkan ke cermin yang lebih kecil dipantulkan lagi menuju kamera, dimana sebelumnya melewati rangkaian lensa yang lebih kecil untuk mengoreksi aberasi.

Teleskop Eddington direncanakan diluncurkan setelah tahun 2007 dengan target perngamatan 500 ribu bintang.


Teleskop Kepler

Teleskop Kepler merupakan bagian dari misi Discovery yang diloloskan NASA pada Desember 2001. Target utama misi Kepler adalah menemukan planet seukuran Bumi di sekitar bintang yang mirip Matahari di galaksi Bima Sakti.

Dalam misi selama 4 tahun ditargetkan Kepler akan memantau tak kurang dari 100 ribu bintang dan menemukan 500 buah planet seukuran Bumi dan lebih dari 1.000 planet seukuran Yupiter. (Wow... bisa dibayangkan kita akan cukup pusing untuk mengenal satu persatu planet tersebut)

Diasumsikan bahwa planet seperti Bumi kita itu akan mengorbit bintang seperti Matahari kita pada jarak antara Bumi dengan asteroid yang biasa dinamakan "Habitable Zone", lokasi yang tidak terlalu dingin dan terlalu panas, dan air kemungkinan dalam kondisi cair bukan beku.

Direncanakan Kepler dengan cerminnya berdiameter 95 cm diluncurkan pada Oktober 2008.


Teleskop Darwin

Sesuai dengan namanya "Darwin" yang identik dengan evolusi bentuk kehidupan, teleskop Darwin yang direncanakan pada 1993 diperuntukkan mencari kehidupan di planet lain di luar Tata Surya. Darwin akan mengamati seribu bintang terdekat dengan Matahari.

Teleskop yang beroperasi di rentang cahaya inframerah ini paling canggih dibandingkan teleskop antariksa lainnya karena bukan hanya sekedar mencari planet seukuran Bumi atau planet bebatuan tetapi juga mengamati kondisi atmosfer planet tersebut.

Informasi mengenai komposisi kimia atmosfer planet akan menghasilkan interpretasi mengenai kondisi seperti apa di balik atmosfer itu.

Sebagai contoh adalah Bumi. Di planet kita ini, aktifitas biologi menghasilkan gas yang mempengaruhi komposisi atmosfer. Tumbuhan menghasilkan oksigen dan binatang menghasilkan karbondioksida dan metana.

Berbagai senyawa gas juga air memiliki ciri khas yang merupakan "sidik jarinya" melalui pemantulan cahaya inframerah dimana Darwin mampu mengamati keberadaan "sidik jari" tersebut.

Kemunculan atau berkurangnya sebuah atau beberapa senyawa gas pada sebuah planet akan diidentifikasi melalui spektrometer Darwin. Perubahan komposisi gas inilah yang menghasilkan interpretasi "ada apa" dibalik atmosfer planet yang mengorbit bintang nun jauh di sana. Apakah ada kehidupan di sana ?

Bisa dikatakan Darwin merupakan teleskop antariksa raksasa, yang disusun melalui 4 hingga lima kali misi wahana antariksa. Tiap wahana antariksa akan membawa teleskop dengan diameter 3 hingga 4 m. Keseluruhan rangkaian cermin Darwin bila disebandingkan dengan teleskop di Bumi setara dengan teleskop berdiameter 100 m.

Keistimewaan Darwin adalah bahwa cara bekerjanya menggunakan metode yang dinamakan "nulling interferometry". Melalui cara ini cahaya bintang induk tempat planet berada direduksi dengan cara diberikan interferensi sehingga tidak lagi menyilaukan dan planet berukuran kecil dapat diamati.

Proyek Darwin menjadi proyek kerja sama antara ESA dengan NASA dimana kemudian Rusia dan Jepang turut terlibat. Direncanakan diluncurkan pada 2013. Dan ditempatkan di titik Lagrange 2 sejarak 1,5 juta km dari Bumi beroposisi dengan Matahari (menjauhi arah Matahari dari satu bentangan garis lurus Matahari- Bumi).

Semua Serba Terlambat dan (Ternyata) Saling Berhubungan

Artikel ini ditulis akhir 2006. Sebagian artikel ini telah ditulis dalam berbagai blog berbahasa Indonesia. “Kegelisahan” yang ingin disampaikan disini adalah bahwa ternyata antara ranah metafisika dan fisika memiliki kemungkinan untuk “bertemu”. Boleh jadi,mungkin, seperti jin dan manusia. Kali aja yee…



Kelahiran Yesus Kristus lebih dari 2006 tahun lampau ditandai dengan keberadaan bintang Bethlehem.Muncul berbagai versi "apa sebenarnya" bintang Bethlehem itu ?. Seperti tertulis dalam Injil Matius 2 : 1-2, bintang Bethlehem terbit di ufuk timur telah diamati dan ditafsirkan oleh orang Majusi,yang mendiami wilayah timur Yerussalem, sesuai dengan astrologi waktu itu.

Astrologi telah menjadi bagian budaya berbagai bangsa di dunia selama ribuan tahun bahkan hingga sekarang. Melalui pengetahuan ini keberadaan dan posisi benda-benda langit dinilai mengisyaratkan peristiwa yang terjadi dan akan terjadi di Bumi.

Sebagai contoh versi terkuat dari Bintang Bethlehem adalah konjungsi Yupiter dengan Saturnus di Rasi Pisces pada 7 SM. Konjungsi terjadi bila dua atau lebih benda langit dalam posisi berdekatan di bola langit. Dalam tahun itu, terjadi 3 kali konjungsi. Fenomena ini sangat istimewa karena akan berulang setiap 900 tahun.

Yupiter melambangkan "Planet Raja" atau juga " yang Memerintah Alam Raya". Saturnus melambangkan "Pelindung Bangsa Yahudi". Rasi Pisces melambangkan " Rumah Bangsa Yahudi". Berita yang diisyaratkan oleh konjungsi itu " Telah lahir di tanah Yahudi, Raja dan Pelindung bangsa Yahudi yang memerintah Alam Raya ".

Ada juga versi lain seperti konjungsi Yupiter dengan bintang Regulus –bintan terterang di rasi Leo-- sebanyak 3 kali pada 3 SM hingga 2 SM. Bintang Regulus melambangkan "Bintang Raja". Rasi Leo melambangkan "bangsa Yahudi" atau "Raja / penguasa/pemimpin ". Penafsirannya sama seperti di atas.

Versi lainnya adalah konjungsi Yupiter,Saturnus dan Mars di Rasi Pisces pada 6 SM yang akan berulang setiap 800 tahun. Juga memiliki penafsiran yang tak jauh berbeda. Selain itu ada versi nova (ledakan bintang), komet, meteor, okultasi Bulan terhadap Yupiter dan konjungsi Yupiter dengan planet Venus di rasi Leo.

Hadir belakangan dari astrologi, ilmu pengetahuan modern membangun fondasi dirinya dengan rasionalitas dan melalui percobaan ilmiah (empirisme) guna menjelaskan fenomena alam.


Zaman Renaissance

Semua berawal pada abad 16 - 17 yang dinamakan zaman Renaissance dimana kebudayaan Yunani yang telah disemaikan di tanah Arab berpindah ke daratan Eropa mendapatkan daya hidup dengan mendudukkan fikiran sebagai alat utama untuk memahami alam. Alam dipandang sebagai sebuah objek yang bergerak secara mekanis dan bisa dihitung secara matematis. Alam tidak mengisyaratkan kemampuan spiritual yang mempengaruhi nasib manusia. Alam tak ubahnya seperti jam raksasa yang bergerak sangat teratur.

Akibat gravitasi Matahari, planet-planet mengitari Matahari secara teratur dimana perbandingan kuadrat periode orbit dengan jarak planet ke Matahari pangkat tiga selalu berharga sama (Hukum ketiga Kepler).Dimana dalam rentang waktu yang sama,sebuah planet akan menyapu bidang elipsnya dengan luas yang sama (Hukum kedua Kepler). Dan lainnya.

Hebatnya lagi, fenomena alam yang akan terjadi seperti gerhana Bulan atau gerhana Matahari dapat diperkirakan dengan akurat.


Cahaya Penghubung Jarak

Pada akhir abad 19 Albert Michelson dan Edward Morley melakukan percobaan untuk menentukan kecepatan cahaya. Ternyata cahaya bergerak dengan kecepatan sama diberbagai media dan kemanapun arahnya sebesar hampir 300 ribu km/detik.

Meskipun, jauh hari sebelumnya astronom Denmark, Ole Romer (1644-1710) mengukur kecepatan cahaya dengan mempergunakan data jarak Bumi-Matahari yang telah dihitung dengan cermat oleh astronom Italia, Giovanni Cassini (1625-1712), pada 1672. Diperoleh hasil besar kecepatan cahaya 298 ribu km/detik. Mendekati yang sebenarnya.

Informasi mengenai kecepatan cahaya ini sangat penting dikarenakan satu-satunya isyarat yang menghubungkan Bumi dengan benda langit hanyalah cahaya (tidak hanya cahaya tampak). Dengan informasi ini, manusia dapat memahami dimensi ruang alam semesta. Tidak sebatas pada Tata Surya dan galaksi Bima Sakti.

Jarak yang merentang dari berbagai benda bercahaya di langit memberi pengertian bahwa apa yang terjadi di benda yang bercahaya tersebut tidak seketika tiba di Bumi. Mereka memerlukan waktu,beberapa menit, ribuan bahkan jutaaan tahun, tergantung jaraknya. Apa yang tiba di Bumi sekarang adalah apa yang terjadi di masa lalu benda bercahaya tersebut. Berbeda dengan astrologi masa lalu dimana bintang dan planet berada pada lengkungan bola langit pada jarak yang sama.

Bila informasi yang tiba di Bumi serba terlambat, bagaimana benda-benda langit tersebut bisa (dikatakan) memberitakan apa yang (akan) terjadi di Bumi secara aktual ?. Ilmu pengetahuan modern tidak bisa menjelaskan wilayah kerja astrologi yang berada di ranah metafisika.

Saling Berhubungan

Namun kemajuan ilmu pengetahuan yang bersinergi dengan teknologi pada abad 20 membawa lompatan besar di dalam memandang alam. Pada diri ilmu pengetahuan itu sendiri, berbagai cabang ilmu bahu-membahu mencoba menguak berbagai misteri.

Pertanyaan ribuan tahun lalu ," Apakah benda-benda langit berpengaruh dan berhubungan terhadap kehidupan manusia (atau Bumi) ?". Ternyata masih aktual. Dan layak untuk dijawab.

Henrik Svensmark dari the Danish National Space Center menuliskan hasil penelitiannya pada the journal Astronomische Nachrichten edisi November 2006 bahwa kehidupan di Bumi berkaitan erat dengan radiasi kosmik yang dipancarkan oleh bintang. Pada 2,4 milyar tahun lalu terjadi “ledakan” kelahiran bintang di galaksi Bima Sakti dan ledakan amat dahsyat bintang (supernova).

Radiasi kosmik yang diterima Bumi meningkat tajam, memicu pembentukan awan yang membuat iklim di Bumi berubah menjadi lebih dingin. Bumi berada di era zaman es. Kondisi ini ternyata merangsang kemunculan berbagai jenis organisme sederhana.

Waktu itu, proses fotosintesis yang memperlihatkan produktifitas makhuk biologi di Bumi meningkat tajam. Bakteri dan alga mengonsumsi karbondioksida,yang merupakan hasil ikatan atom karbon-12. Sebagai hasilnya, lautan—tempat awal mula munculnya makhluk hidup—mendapat kelimpahan atom karbon-13 yang turut membentuk batuan karbonat yang menjadi bukti penelitian Henrik Svensmark.

Penelitian Gunther Korschinek dari the Technical University , Munich, Jerman yang dimuat dalam the journal Physical Review Letters edisi 22 Oktober 2004 menyatakan ledakan supernova pada 2,8 juta tahun lalu mengakibatkan kelimpahan atom besi-60 dan mempengaruhi evolusi manusia.

Dua penelitian di atas adalah sedikit contoh penelitian ilmu pengetahuan modern yang mengukuhkan bahwa—meskipun selalu terlambat tiba di Bumi—benda-benda langit turut mempengaruhi jalan sejarah kehidupan di Bumi.



Keterangan gambar :

Siklus Sejarah Bintang

Ilustrasi sejarah bintang dari awan dengan jumlah massa kritis-terbentuk piringan akresi-bintang lahir-bintang meledak dan melontarkan materi ke berbagai penjuru-materi yang tersebar berkumpul- dan kembali ke awal lagi terbentuk awan. Dari tiap tahap ini,berbagai radiasi dipancarkan dan menimpa Bumi.
( gambar oleh Bill Saxton, NRAO/AUI/NSF )






Radiasi Kosmik
Radiasi Kosmik menembus atmosfer Bumi dan memicu pembentukan awan yang berdampak mengubah Bumi menjadi lebih dingin (Gambar oleh Danish National Space Center )








Konjungsi Yupiter dengan Venus di Rasi Leo
Ilustrasi konjungsi Yupiter dengan Venus di Rasi Leo ketika baru terbit di ufuk timur merupakan salah satu versi mengenai bintang Bethlehem. Konjungsi ini dalam pandangan astrologi mengisyaratkan “Kelahiran Raja atau Pemimpin “ (sumber internet)

Label: