planet_kita

Suatu Saat di Pojok Alam Semesta...

27 Juni 2008

Sistem Optika Adaptif

Pengamatan astronomi dengan menggunakan teleskop optik landas Bumi memiliki kelemahan yaitu cahaya dari benda di antariksa mengalami gangguan akibat atmosfer yang terus bergerak (turbulensi) dalam perjalanannya menuju permukaan Bumi.

Bintang di malam hari tampak berkelap-kelip karena gelombang cahaya yang tiba di mata tidak teratur. Demikian halnya, cahaya yang tiba di permukaan teleskop akan menghasilkan citra kurang tajam. Terlebih untuk obyek yang amat redup.

Untuk mengurangi turbulensi atmosfer banyak teleskop dibangun di tempat tinggi. Namun, tetap saja, setinggi apapun teleskop berada di muka Bumi, akan selalu berada dalam lapisan atmosfer.

Nah bagaimana caranya untuk mengurangi atau bahkan meniadakan pengaruh atmosfer bagi perjalanan cahaya hingga tiba di permukaan teleskop ? Untuk itu dikembangkan teknologi Sistem Optika Adaptif (adaptive optics). Teknologi ini semula dipergunakan di Departemen Pertahanan Amerika Serikat dalam proyek perang bintang (star war) dan satelit mata-mata di era 1980-an. Kemudian diadaptasi untuk keperluan penelitian ilmiah.


Perlengkapan

Sebuah teleskop optik berteknologi Optika Adaptif dilengkapi dengan perlengkapan tambahan berupa :

- Pemancar laser monokromatis untuk menciptakan bintang semu / bintang buatan di lapisan atas atmosfer Bumi,
- Cermin karet (rubber mirror) yaitu cermin berpermukaan lentur (bisa berubah bentuk) karena merupakan kumpulan cermin-cermin kecil yang bisa bergerak naik-turun. Pergerakan cermin karet disebabkan oleh pergerakan halus aktuator (semacam per) dalam orde mikron (1/.1000 cm) dalam waktu sangat singkat ( orde 1/1.000 detik) yang diletakkan dibawahnya.
- Komputer berkecepatan tinggi untuk menggerakkan aktuator sehingga bisa mengubah bentuk cermin karet
- Cermin setengah tembus berguna untuk sebagian memantulkan cahaya dan sebagian meneruskan cahaya yang mengenainya
- Sensor muka gelombang berguna untuk memecah cahaya menjadi beberapa berkas dari cahaya yang menimpanya. Cahaya yang menimpa sensor ini sudah berkurang setengah intensitasnya karena setengahnya lagi menimpa
- Detektor optik

Prinsip Kerja

Pertama-tama harus ada sumber cahaya terang yang bisa dijadikan rujukan untuk mengukur besarnya turbulensi atmosfer. Contohnya bintang terang. Namun keberadaan bintang terang ini hanya di beberapa lokasi tertentu,tidak menjangkau seluruh bola langit. Akibatnya pengamtan akan dibatasi lokasi obyek dan waktu. Karenanya diciptakan bintang semu / buatan yang berasal dari pancaran sinar laser di arah obyek yang akan diamati.

Pancaran sinar laser itu akan mengeksitasikan atom sodium di lapisan atas atmosfer. Akan tercipta “titik kecil”, yang lebih panas dari sekitarnya. Titik kecil itulah "bintang buatan”.

Cahaya masuk ke dalam teleskop dan menuju ke cermin karet, lalu dipantulkan ke cermin setengah tembus. Melalui cermin setengah tembus, setengah intensitas cahaya dipantulkan ke detektor dan setengahnya lagi diteruskan ke sensor muka gelombang untuk dipecah menjadi beberapa berkas. Bila turbulensi atmosfer besar akan terjadi interferensi.

Besar kecilnya interferensi di sensor muka gelombang diteruskan ke komputer, yang secara otomatis mengoreksi bentuk cermin karet. Perubahan bentuk cermin karet mengakibatkan besar interferensi yang diterima sensor muka gelombang kian berkurang. Demikian seterusnya melalui umpan balik itu interferensi menjadi minimal.

Karena kondisi atmosfer senantiasa berubah, maka kinerja komputer harus sangat cepat sehingga koreksi terhadap cermin karet berlangsung seketika (real time).

Melalui perkembangan teknologi dimungkinkan kian sempurna kinerja Sistem Optika Adaptif, seperti diameter cermin karet kian besar dengan jumlah aktuator semakin banyak dan pergerakan kian halus dan cepat.

Peristiwa penting yang perlu dicatat dalam pengembangan teknologi Sistem Optika Adaftif adalah keberhasilan European Southern Observatory di Cerro Paranal, Cili.

Pada 28 Januari 2006, sinar laser pada teleskop Yepun berdiameter 8,2 meter menghasilkan bintang buatan berdiameter 50 cm di ketinggian 90 km, untuk pertama kalinya di belahan langit selatan. Melalui teknologi ini diharapkan mencapai ketajaman citra seperti teleskop antariksa Hubble.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda